Aku orang Korea yang tumbuh di sebuah
kota kecil di Vermont. Kecil dalam ukuran populasi, bukan dalam ukuran
wilayah. Ada ladang berhektar-hektar dan area hutan yang tak terhingga
luasnya. Lebih banyak sapi daripada manusia di sini, sebuah standar bagi
kebanyakan kota kecil di Vermont.
Jadi, bisa kalian bayangkan, tidaklah
terlalu menyenangkan tumbuh di sini. Hanya satu kata saja cukup untuk
menggambarkan kondisi di sini ; membosankan.
Tak banyak anak-anak seumuran di kota
ini. Sahabat terbaikku adalah Kei yang berumur lima tahun lebih muda
dariku. Kami menghabiskan sebagian besar waktu kami bermimpi tentang
hidup di luar kota Vermont. Orang-orang di desa kami
benar-benar aneh. Berbeda dengan di tempat lain. Satu hal yang tak
kusadari tentang penduduk kota kecil adalah betapa percayanya mereka
terhadap hal-hal berbau takhyul. Mereka percaya dengan yang gaib,
termasuk paranormal. Mereka percaya pada Luvia.
Luvia adalah perempuan tua berdarah Prancis—Kanada yang pindah ke Vermont bersama suaminya. Ada yang bilang ia gypsi. Ada yang bilang ia adalah peramal. Bahkan, orang tuaku sendiri percaya padanya.
Suatu hari, ibuku kehilangan cincinnya.
Ibuku sudah mencarinya kemana-mana. Mereka memanggil Luvia dan ia
mengatakan cincin itu berada, “di bawah kayu tua yang membusuk”.
Mereka mencari ke halaman belakang dan ayahku menemukannya di bawah
sebuah piano kayu tua yang teronggok dan sudah ditumbuhi jamur.
Setelah mendengar banyak mengenai Luvia dari penduduk kota lainnya yang menganggap dia 100% dapat dipercaya, Kei dan aku memutuskan untuk menemuinya suatu sore.
Kami ingin ia memberitahu kami tentang, “Masa depan” kami. Namun aku sendiri sebenarnya skeptis. Saat itu, semuanya terlihat seperti sebuah lelucon atau hiburan bagi kami.
Jadi, kami pergi ke rumahnya sore itu dan
ia membuka pintu di saat kami masih berjalan mendekati halaman depan
rumahnya. Bahkan kami belum sempat sampai ke depan pintu dan mengetuk.
Kei menyikut rusukku dan berbisik bahwa Luvia pasti benar-benar peramal
tulen. Ia bahkan sudah tahu kami datang sebelum kami tiba di rumahnya!
Aku berbisik balik padanya dan mengatakan
bahwa itu mungkin karena rumahnya punya banyak jendela dan ia bisa
melihat kami datang dari kejauhan. Aku merasa agak aneh ketika
mendekatinya. Ia wanita tua yang menakutkan, hampir tampak seperti nenek
sihir. Namun ia tersenyum dengan ramah menyambut kami.
Kami kemudian mengatakan bahwa kami tertarik dengan kemampuannya, “membaca masa depan” dan menyerahkan padanya uang duapuluh ribu. Ia setuju dan mengatakan siapa yang akan lebih dulu.
“Apa yang bisa Anda katakan mengenai kehidupan cintaku?” tanya Kei.
Luvia tak memiliki bola kristal ataupun
kartu tarot. Ia hanya menutup matanya sejenak dan diam selama dua menit,
kemudian mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Choi Minki”
Kei menatapnya selama beberapa detik dan Luvia mengulang, “Choi Minki. Itu nama pria yang akan menjadi suamimu.”
Kei berterima kasih dan mengulangi nama itu berkali-kali. Choi Minki. Choi Minki. Choi Minki. Kemudian Luvia berpaling ke arahku.
“Apapun yang Anda katakan, saya ingin mendengarnya dengan senang hati.Tidak harus tentang kehidupan asmaraku.” kataku pura-pura yakin.
Luvia menutup matanya selama beberapa
detik, namun wangsit yang ia dapatkan tampaknya datang lebih cepat
ketimbang visinya tentang suami Kei. Ia menatapku tajam ke dalam mataku,
menggenggam tanganku, dan mengatakan.
“Sesuatu yang akan membunuhnya sedang menanggalkan kulitnya.”
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang mengasah giginya.”
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang membersihkan darah dari antara cakar-cakarnya.”
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang mengumpulkan kulit.”
“Sesuatu yang akan membunuhmu— kau takkan melihatnya datang.”
Kami bertiga membisu selama sejenak. Aku merasa sakit. Gemetar.
Luvia menatap kami seolah ia menyesal mengatakan hal itu kepada kami.
“A—apa ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya?” tanyaku.
Luvia mengembalikan uang kami. “Aku takkan menarik uang untuk ramalan kali ini. Kalian berdua, cepatlah pulang!”
Aku dan Kei segera meninggalkan rumah Luvia tanpa mengatakan sepatah katapun.
Dalam perjalanan pulang pun kami masih
membisu. Kei baru saja menemukan nama cinta sejatinya dan aku
mendapatkan pesan penuh teka-teki tentang kematianku. Aku masih berumur
duabelas tahun saat itu. Aku ketakutan setengah mati.
Ketika Kei meninggalkan serambi rumahku,
ia mencoba menghiburku, “Bagaimana dia bisa tahu dengan siapa aku
menikah,” katanya sambil tertawa, “Dan seekor monster tidak akan
memakanmu. Berganti kulit, mengasah gigi, darah di cakarnya, itu sama
sekali tak masuk akal. Lupakan saja omong kosong nenek itu!”
Aku ingin melupakannya. Namun tetap saja. Selama bertahun-tahun aku memikirkan ramalan itu.
Makhluk yang menanggalkan kulitnya.
Makhluk dengan gigi yang tajam.
Makhluk yang berlumuran darah.
Makhluk dengan cakar yang runcing.
Makhluk yang akan membunuhku, aku selalu
merasa ia mengawasiku dari mana-mana. Dari antara pepohonan saat malam.
Dari bawah timbunan salju. Menunggu di luar jendela kamarku.
Setiap malam sebelum aku tidur, aku
selalu merasa melihatnya. Kulit, gigi taring, darah, cakar, aku selalu
mencarinya. Tapi aku tak pernah menemukannya.
Ketika aku berumur delapan belas tahun, aku pindah ke California untuk kuliah, untuk menjauh dari Vermont
dan apapun yang akan membunuhku. Akupun berhenti merasakannya
dimana-mana. Mungkin, apapun itu, ia tetap tinggal di Vermont. Bahkan
mungkin, ia tak pernah ada.
Semua orang di California yang kuceritakan tentang hal itu selalu tertawa, dan akupun berhenti mempercayai ramalan itu. Itu hanya igauan seorang wanita gipsy, tak mungkin nyata.
Ketika aku berumur 26 tahun, sebuah
undangan pernikahan tergeletak di kotak suratku. Kei ternyata akan
menikah! Aku saat itu tinggal di California dan hampir tak pernah ada
kontak dengan Kei semenjak aku pergi. Ia terasa seperti bagian dari masa
laluku.
“Anda diundang ke pernikahan Kim Ji Yeon dan Choi Minki—”
Tunggu. Tidak. Tidak mungkin!
Ini pasti tidak ada hubungannya dengan
ramalan Luvia. Ramalannya tak mungkin nyata. Tidak ada yang namanya
peramal atau kemampuan melihat masa depan!
Aku pergi ke pernikahan mereka. Kei, aku,
dan Choi Minki, semuanya tertawa dengan semua ramalan itu. Tentu saja
ramalan itu tak mungkin benar. Kei dan Minki menganggap semuanya
hanyalah lelucon yang akan mereka ceritakan pada anak-anak mereka di
masa depan.
“Beritahu kami kalau kau bertemu dengan
monster bergigi tajam yang berganti kulit, oke?” kata Kei sambil
bercanda. Kami semua berpikir bahwa ini semua hanyalah kebetulan belaka
jika Kei bisa menikah dengan seorang pria bernama sama seperti yang
diramalkan Luvia.
Aku meninggalkan pesta pernikahan dengan berusaha mempercayai bahwa, “sesuatu yang akan membunuhku” tak mungkin sungguhan.
Monster itu tak ada. Aku melihat di
balikcpohon, di balik mobil. Tak ada yang sedang menantiku di sana. Tak
ada yang bersiap-siap untuk mengulitiku. Aku tak tahu kenapa aku begitu
takut sekian lama.
Salah satu hal hebat dari pernikahan Kei
adalah peristiwa itu membawa kami kembali dekat seperti dulu. Dia
bahagia hidup bersama Minki di Vermont. Ia selalu mengirim email
kepadaku, mengatakan tentang segala hal yang terjadi di kota kecil itu.
Populasinya dengan perlahan meningkat. Vermont membangun banyak gedung
sekolah baru. Dan juga gosip-gosip lainnya.
Juga berita kalau Luvia meninggal.
Bertahun-tahun kemudian, aku semakin
jarang menerima email dan telepon darinya. Kei terlihat sangat sibuk.
Hingga suatu titik aku mulai merindukannya karena tak mendapatkan
sedikitpun kabar darinya.
Pada malam natal, aku memutuskan
mengunjungi rumah orang tuaku untuk liburan dan mampir sebentar di
kediaman Kei dan suaminya. Aku biasanya tak melakukan ini, namun ia tak
pernah menjawab teleponku dan aku sangat ingin menemuinya saat itu.
Aku memarkirkan mobilku di depan rumah
mereka. Ada dua mobil di parkiran sehingga aku menduga mereka berdua ada
di rumah. Aku turun dari mobil dan menekan bel pintu.
Minki membukanya, berpakaian dengan jas
tebal, seolah-olah ia baru saja berasal dari luar. Ia mengundangku
masuk. Ia tampak sangat terkejut melihatku dan bertanya apakah aku
berbicara dengan Kei akhir-akhir ini.
“Belum, bahkan selama beberapa bulan kami
tak pernah berkomunikasi. Maaf tiba-tiba mengunjungi kalian seperti
ini, tapi apakah aku bisa bertemu dengannya?”
“Oh, aku pikir kau sudah tahu,” jawab
Minki. “Dia meninggalkanku. Beberapa bulan lalu. Ia pergi dan tak pernah
lagi berbicara denganku sejak saat itu.”
“Oh, Tuhan—Maaf, aku benar-benar tidak tahu …”
Minki melepaskan mantelnya dan
menggantungkannya dekat pintu. “Maaf, aku harus mandi dulu sekarang. Aku
baru saja dari luar. Bisakah kau menunggu sebentar?” Ia melepaskan
sepatunya lalu menanggalkan sweaternya. Lalu berjalan menuju ke kamar
mandi. Aku duduk, melihat-lihat rumah mereka.
“Tentu saja tidak. Apa kau tahu kemana Kei pergi?”
“Tidak,” teriaknya dari dalam kamar
mandi, dengan mulut penuh busa pasta gigi, “Ia tak pernah meneleponku
sekalipun semenjak ia pergi.”
“Aku sedih mendengarnya.”
Aku mendengarnya berkumur dan ketika ia
melihatku memandanginya dari kaca kamar mandi, ia menutup pintu kamar
mandi untuk mendapatkan privasi. Ketika aku mendengar suara shower
dinyalakan, aku berniat mengambil handphone untuk melihat SMS terakhir
yang Kei kirimkan. Mungkin saja itu akan memberikan petunjuk dimana ia
berada.
Namun ketika aku mengambilnya dari dalam
tas, benda itu terjatuh. Ketika aku berusaha mengambilnya, aku melihat
sesuatu di bawah sofa.
Gumpalan rambut.
Warnanya cokelat, sama seperti rambut Kei.
Namun anehnya, rambut itu tampak seperti dicabut dari kulit kepalanya. Dan ada sedikit noda darah di sana.
“Sesuatu yang akan membunuhnya sedang menanggalkan kulit.”
Aku melihat pintu kamar mandi yang tertutup.
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang mengasah giginya.”
Aku mendengarnya tadi menggosok gigi.
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang membersihkan darah dari antara cakar-cakarnya.”
Aku sedang mendengarnya membersihkan diri di bawah pancuran.
“Sesuatu yang akan membunuhmu sedang mengumpulkan kulit.”
Aku menatap sedikit kulit yang masih menempel di gumpalan rambut itu.
Ya Tuhan —Sesuatu yang akan membunuhku!
Aku mendengar suara pancuran berhenti. Gerakan dari dalam kamar mandi.
Aku lari. Keluar dari pintu. Membanting
pintu. Berlari sekuat tenaga ke mobil. Masuk ke mobil. Aku gemetar.
Memperhatikan pintu. Tanganku berjuang dengan kencang.
Pintu rumah terbuka. Mobilku menyala. Aku mengendarainya secepat mungkin. Aku tak menoleh ke belakang.
Sepanjang malam. Aku tak tahu apa ia
mengikutiku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu apa
yang kulihat tadi. Jantungku tak lagi berdetak dengan normal hingga aku
tiba di rumah,
berkendara sepanjang malam hingga melintasi dua negara bagian.
berkendara sepanjang malam hingga melintasi dua negara bagian.
Aku pulang.
Itu sebulan yang lalu. Aku menelepon
polisi. Mereka menyelidiki, namun tak menemukan apapun. Mereka yakin Kei
hanya meninggalkannya dan pindah ke tempat lain.
Mungkin memang begitu. Mungkin ia sudah kabur dan aman sekarang.
Mungkin takkan ada yang mengejarku.
Mungkin Choi Minki adalah pria malang yang ditinggalkan istrinya.
Mungkin tak ada sesuatu yang berada di
belakang pepohonan, di bawah salju, di bawah mobil, di luar pintuku saat
malam, di luar jendela. Mungkin tak ada. Tak ada.
Aku selalu teringat kalimat terakhir dalam ramalan Luvia.
“Sesuatu yang akan membunuhmu—kau takkan melihatnya datang.”
sumber: https://elisayoonaddict.wordpress.com/2015/04/07/creepypasta-the-thing-that-will-kill-me/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar