Alkisah, lima orang pendaki gunung tersesat di tengah
pegunungan bersalju (versi lain cerita mengatakan mereka merupakan
korban selamat dari suatu kecelakaan pesawat). Karena tidak kuat, salah
satu dari kelima pendaki itu akhirnya meninggal. Namun keempat temannya
yang lain menolak meninggalkan jenazah teman mereka di tengah gunung dan
memutuskan membawanya.
Hingga suatu saat di tengah badai salju, mereka menemukan sebuah pondok kayu.
Mereka
bersyukur dan segera berlindung di dalam pondok kayu itu. Pondok itu
berbentuk segiempat. Pondok itu tampak sudah tua, namun masih kokoh.
Celakanya,
sama sekali tak ada penerangan di dalam pondok itu, sehingga mereka
terpaksa menghabiskan malam dalam kondisi gelap gulita.
Mereka meletakkan jenazah teman mereka di tengah ruangan yang berbentuk segi empat itu.
Mereka mulai bercakap-cakap.
“Malam ini kita tidak boleh tidur. Bila kita tidur, bisa-bisa kita tidak bangun lagi.”
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana caranya? Bila kita tidak melakukan sesuatu, kita pasti akan tertidur.”
“Aku
tahu, kita lakukan saja suatu permainan.” Usul salah satu teman mereka,
masih dalam kondisi gelap gulita. Mereka sama sekali tak bisa melihat
satu sama lain, jadi mereka tak tahu dengan siapa mereka berbicara dan
siapa yang mengusulkan permainan itu.
“Permainan apa?”
“Begini,
ruangan ini kan berbentuk kotak. Bagaimana jika masing-masing dari kita
berempat berdiri di tiap pojok ruangan. Nah, saat permainan dimulai,
salah satu dari kita berlari ke pojok ruangan terdekat dan menepuk
punggung temannya yang ada di situ. Lalu ia yang ditepuk punggungnya
harus berlari lagi untuk menepuk punggung temannya yang ada di pojok
terdekat dengannya. Begitu terus hingga kembali ke orang pertama dan
diteruskan sampai fajar tiba.”
“Itu ide bagus,” semua orang tampaknya setuju, “Dengan begitu kita akan bergerak semalaman dan tubuh kita akan terasa hangat.”
Akhirnya
mereka melakukan permainan itu. Masing-masing dari mereka, sebut saja
A, B, C, dan D berdiri di pojok ruangan. A mulai berlari ke B dan
menepuk pundak B. B kemudian langsung berlari dan menepuk pundak C. C
lalu berlari menepuk pundak D. Dan begitu seterusnya, mereka melakukan
permainan itu hingga pagi.
Saat pagi tiba,
mereka mulai merasa lega. Cahaya mulai menerangi seluruh ruangan
sehingga mereka bisa melihat seisi ruangan. Salah satu teman mereka
rupanya mengenali tempat ini dan tahu jalan keluar dari tempat itu.
Namun saat mereka menyadari bentuk ruangan yang mereka tempati sejak semalam, mereka mulai sadar ada yang tidak benar.
Lalu mereka mulai ketakutan.
Permainan itu ternyata tak sesimpel yang mereka duga.
Permainan
dimulai ketika A berlari dan menepuk pundak B. B kemudian berlari
menepuk pundak C. Lalu C berlari menepuk pundak D. Sampai di sini tak
ada masalah. Namun ketika D berlari ke A, semestinya tak ada orang di
sana, sebab A sudah berada di B. Benar bukan? Sehingga D harus berlari 2
kali agar dapat menepuk pundak A.
Namun saat mereka bermain, tak ada seorang pesertapun yang harus berlari dua kali.
Saat tiba di A, D menepuk pundak seseorang yang kemudian berlari menepuk pundak A yang sedang berada di B.
Merekapun sadar, permainan ini walaupun dilakukan di ruangan berbentuk segi empat, tak bisa dilakukan oleh empat orang.
Permainan ini harus dilakukan oleh lima orang.
Namun mereka hanya ada berempat saat mereka melakukan permainan itu.
Lalu mereka menatap jenazah teman mereka yang terbujur kaku di tengah ruangan.
Ya, mereka tak hanya berempat di dalam ruangan.
Mereka berlima.
sumber: http://mengakubackpacker.blogspot.co.id/2013/03/urban-legend-13-square.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar