THE ABANDONED HOSPITAL
RUMAH SAKIT YANG TERBENGKALAI
Aku
mengambil map berisi catatan pasien ke dalam tanganku untuk melihat
apakah ada sebuah telepon yang masuk atau tidak. Begini, aku melakukan
hal ini untuk sebuah tantangan.
Ketika aku mulai berpikir
sebaiknya aku pulang saja karena tak ada sesuatupun yang terjadi, lampu
senterku tiba-tiba mati dan terdengar suara yang keras, “THUD!” dari
tengah kegelapan.
Tiba-tiba saja senterku menyala dan salah satu
temanku melihat ke arah belakangku dengan wajah ketakutan. Beberapa
saat kemudian, kamipun berpencar-pencar seolah-olah ada “sesuatu” yang
mengejar kami. Aku tak tahu apakah sesuatu telah terjadi, namun aku
terlalu takut untuk menoleh ke belakang dan ikut berlari.
Aku kembali ke tempat dimana kami meninggalkan mobil kami, tapi ...
“Sialan!
Orang macam apa yang meninggalkan temannya seperti ini?” mobil itu
sudah menghilang bersama teman-temanku yang lain, “Sial! Berarti aku
harus berjalan pulang!”
Aku berjalan sambil menyeret kakiku.
Mungkin karena aku belum pernah berlari sekencang itu seumur hidupku
sehingga tubuhku kelelahan. Namun tubuhku terasa berat, seolah-olah ada
yang berpegangan kepadaku.
Apa aku kesurupan? Tunggu, apa yang
barusan kukatakan? Jangan berpikir yang aneh-aneh! Aku hanya ingin
segera kembali ke rumah dan beristirahat. Aku masih memegang map berisi
catatan pasien dari rumah sakit tersebut.
Akhirnya aku tiba di rumah.
Huh?
Ponselku tak ada. Apakah aku menjatuhkannya di rumah sakit itu? Serius,
ini tidak lucu! Aku merasa terlalu takut untuk kembali ke sana.
Tiba-tiba aku melihat lampu merah berkedip. Seseorang meninggalkan pesan di mesin penjawab telepon.
Buku
kudukku mulai berdiri. Urban legend mengatakan jika kamu mengambil
sesuatu dari rumah sakit itu, maka kamu akan menerima telepon dari para
“penghuni” rumah sakit itu yang akan meminta kembali barang apapun yang
kamu ambil.
Apa ini sungguhan?
Dengan gemetar aku menekan tombol “play”.
“Hei, apa kau baik-baik saja? Telepon aku segera jika kamu menerima pesan ini!” ternyata itu dari salah satu temanku.
“Hahahahaha...” aku tertawa. Aku tahu urban legend itu cuma bohongan.
Aku segera mengangkat telepon dan menghubungi temanku itu.
“Hei, apa yang kalian pikirkan? Kalian barusan meninggalkanku sendirian di sana!” seruku marah.
“Ah,
kamu baik-baik saja. Aku lega ...” temanku itu kemudian terdengar
sedang berseru kepada teman-teman kami yang lain yang juga ikut
tantangan itu, “Hei, dia baik-baik saja.”
Aku mulai kesal, “Memangnya apa yang tadi kalian lihat sampai kalian lari ketakutan seperti itu?”
“Hah, kau tidak melihatnya? Serius?”
“Aku
lari dari sana begitu melihat kalian juga berlari. Aku terlalu takut
untuk melihat ke belakang. Kakiku sampai sekarang sakit gara-gara
berlari tadi.”
“Ah, masa kau lupa? Tadi ada sesuatu yang
menarikmu, mungkin karena itu kakimu terasa sakit. Tidak ada luka lebam
atau apa kan?”
“Apa? Apa maksudmu? Tidak ada yang menarikku, kok!”
Dia
kemudian menjelaskan bahwa saat lampu senter kami mati, terdengar suara
“Thud!” yang keras dan begitu lampu senter menyala kembali, mereka
melihat aku sudah terbaring di lantai dengan puluhan tangan muncul dari
lantai, menarik tubuhku erat-erat.”
“Apa?” aku sama sekali tak ingat kalau aku terjatuh tadi. Apa mereka sedang mengerjaiku?”
Setelah menutup telepon, aku terus memikirkan apa yang baru saja terjadi. Namun aku sama sekali tak mengerti.
“Ring ring ring! Ring ring ring!”
Aku segera mengangkat telepon itu, “Hei, apa lagi?”
“Halo, ini dari rumah sakit.”
“Apa? Apa ini semacam lelucon? Ini sama sekali tidak lucu!”
“Ini dari rumah sakit.”
Sial! Apa ini semua serius?
Mataku
menatap ke arah map catatan pasien yang kubawa ke rumah bersamaku. Aku
mendapatkan perasaan tak enak...perasaan yang sungguh tak enak.
Aku merasa bulu kudukku berdiri dan segera aku merasa dalam kesulitan.
“Ma...maafkan
aku...” jawabku ketakutan, “Kumohon maafkan aku....aku akan segera
mengembalikan catatan pasien yang aku ambil. Aku sungguh minta maaf.”
“Tidak...kami tidak memerlukan catatan itu Pak.”
“Maafkan aku, aku takkan melakukannya lagi! Kumohon, maafkan aku! Maafkan aku!”
“Tolong datang ke rumah sakit sesegera mungkin Pak.”
“Maafkan aku...maafkan aku...” tanpa sadar aku mulai menangis.
“Pak,
anda meninggalkan sesuatu di rumah sakit, jika kami tidak salah.
Tolonglah segera datang ke rumah sakit kami. Kami sangat ingin bertemu
dengan anda segera.” Telepon itupun ditutup.
Sial, aku tak bisa
lari lagi. Aku menyiapkan diriku untuk hal terburuk yang bisa terjadi.
Mungkin mereka akan mengatakan bahwa aku lupa untuk menyerahkan hidupku
pada mereka atau hal-hal mengerikan semacam itu.
Aku tak bisa kabur. Tak ada siapapun yang bisa menyelamatkanku. Tak ada jalan lain ...
Waktu berjalan dengan sangat cepat dan akupun tiba di rumah sakit malam itu.
Seorang
suster berdiri sendirian di tengah sebuah lobi yang luas. Satu-satunya
yang kuperhatikan saat itu bahwa ia masih sangat muda dan manis. Yah,
bahkan dalam situasi gawat seperti inipun, hanya hal semacam itu yang
bisa kupikirkan.
“Saya datang untuk mengambil...apapun yang saya tinggalkan di sini...” ucapku gemetar.
“Barang anda yang hilang ada di sini.” dia mengangkat sebuah telepon genggam dan menunjukkan kepadaku.
“Ah, itu telepon saya! Saya pikir saya menjatuhkannya di sini... Apa maksud anda barang yang tinggalkan adalah...ponsel ini?”
“Ya, Pak.”
Aku menghela napas lega setelah menyadari situasinya tak seburuk yang aku duga.
“Terima
kasih! Terima kasih banyak!” aku kemudian menyadari bahwa aku masih
memegang map catatan pasien milik mereka, “Oh ya, ini milik anda! Maaf
saya tadi mengambilnya.”
“Tapi kami benar-benar tak
membutuhkannya Pak.” Saat ia mengatakannya, ia menjatuhkan map tersebut
ke lantai dan tiba-tiba sesuatu muncul dari bawahku, menggapai dan
menarikku hingga aku terjatuh.
“Apa?”
Begitu aku sadar, aku sedang terbaring di lantai dan puluhan tangan tengah menahanku di situ.
sumber:mengaku backpacker